A. Biografi Pengarang
Kitab ‘Uqudu al - Lujain dikarang oleh Abu
Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi atau lebih dikenal dengan
Syaikh Nawawi al-Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H/1813 M di Tanara
Tirtayasa, Serang, Banten. Nawawi al-Bantani merupakan putera seorang tokoh
yang dihormati karena ilmu agamanya. Garis nasabnya bersambung sampai Maulana
Syarif Hidayatullah atau disebut juga sebagai Sunan Gunung Jati.[1]
Pendidikannya diawali dengan berguru kepada
ayahnya sendiri, kemudian dilanjutkan dengan belajar di pesantren-pesantren di
Jawa. Pada tahun 1828 M, dua tahun setelah ayahnya meninggal, beliau menunaikan
ibadah haji dan bermukim di Makkah. Di sana beliau memperdalam ilmu-ilmu agama
selama tiga tahun. Waktu luangnya beliau gunakan untuk mengajar di Masjid
al-Haram dan menulis buku. Tidak berapa lama setelah kepulanggannya ke Banten,
beliau kembali lagi ke Makkah sampai akhir hayatnya tahun 1314 H/1897 M. Beliau
wafat pada usia 84 tahun dan dimakamkan di pemakaman Ma’la.
Beberapa ulama baik dari Indonesia maupun
Makkah yang pernah menjadi gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh
Abdul Ghani Bima, Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Yusuf Sumbulawini, dan Syaikh
Abdul Hamid Daghastani.[2]
Nawawi al-Bantani dikenal sebagai nenek oyang
intelektual para ulama.Beberapa tokoh ulama besar pernah berguru kepadanya,
seperti KH. Khalil Madura, KH. Hasyim Asy’ari Jombang, Raden Asnawi Kudus, dan
Ahmad Khatib Minangkabau.
Snouck Hurgronje memuji beliau sebagai orang Indonesia
yang paling alim dan rendah hati serta sebagai seorang penulis yang berbakat
dan produktif. [3] Beliau
menulis lebih dari 100 kitab dalam berbagai bidang, seperti aqidah, tafsir,
ulumul Quran, hadis, fiqh, tasawuf, sejarah, dan biografi. Sebagian karyanya
perupakan penjelasan (syarah) atas karya ulama lain. Di Indonesia,
karya-karya beliau banyak digunakan sebagai referensi para santri dan
masyarakat pada umumnya, seperti Tijan ad-Durar, Nur azh-Zhalam, Fath
al-Majid (karya di bidang aqidah), Tafsir al-Munir (karya di bidang
tafsir), Tanqih al-Qaul (karya di bidang hadis), Sulam al-Munajat,
Nihayah az-Zayn, Kasyifah as-Saja (karya di bidang fiqh), Qami
at-Thugyan, Nasha’id al-Ibad, Minhaj ar-Ragibin (karya di bidang tasawuf),
serta kitab yang mengatur relasi suami isteri, yakni ‘Uqudu al-Lujjayn fi
Bayan Huquq az-Zaujayn.[4]
B. Tinjauan terhadap Kitab
Nama kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn,
memiliki beberapa kata yang memiliki makna tertentu. ‘uqudu berasal dari
kata ‘aqada-‘aqdan yang berarti menyimpulkan, mengikat (tali). Bentuk
jamaknya adalah ‘uquudun yang berarti perjanjian (yang tercatat),
kontrak.[5] al-Lujjayn
berarti perak.[6]
Sehingga ‘Uqudu al-Lujjayn mempunyai arti ikatan dua perak. Jika
digabungkan pada kalimat selanjutnya, maka saksud dari ikatan dua perak itu
adalah ikatan suami isteri. Secara sekilas dapat diketahui bahwa Syaikh Nawawi
keluarga menempatkan keluarga pada posisi yang tinggi, sehingga beliau
mengggunakan perak sebagai kiasan.
Sebagaimana kitab klasik pada umumnya, kitab ‘Uqud
al-Lujjayn juga dicetak di atas kertas berwarna kuning, sehingga disebut
juga dengan kitab kuning. Kitab yang terdiri dari 22 halaman ini dicetak dengan
model koras (bendel-bendel tipis) seperti koran.
Syaikh Nawawi membagi kitabnya menjadi empat pokok
pembahasan dengan menggunakan istilah fashl. Fashl pertama
berbicara tentang kewajiban suami terhadap isteri, berupa pergaulan yang baik, nafkah,
mahar, adil dalam penggiliran (bagi yang berpoligami), pengajaran kepada isteri
tentang ibadah-ibadah yang wajib dan sunah, termasuk sunah gairu muakkadah,
pengajaran hal-hal yang berhubungan dengan haid, dan kewajiban mentaati suami
pada hal-hal yang tidak berbau maksiat. Fashl kedua menjelaskan
tentang kewajiban isteri terhadap suami, berupa patuh terhadap suami pada
hal-hal yang tidak berbau maksiat, pergaulan yang baik, menyerahkan diri
seutuhnya kepada suami, selalu berada di rumah, menjaga diri untuk tidak
berselingkuh dengan orang lain (zina), menutup tubuh dari pandangan orang lain,
termasuk wajah dan telapak tangannya, sebab memandang bagian-bagian tubuh itu
adalah haram walaupun tanpa syahwat dan tidak menimbulkan fitnah, tidak
menuntut hal-hal yang tidak perlu kepada suami walaupun ia tahu bahwa suaminya
mampu, menghindari harta haram suaminya, dan tidak berbohng dalam hal haid. Fashl
ketiga membahas keutamaan sala di rumah bagi wanita. Salatnya wanita di
dalam rumah lebih utama daripada salat jama’ah bersama Rasulullah. Hal ini
sesui dengan yang disabdakan Nabi dalam hadisnya. Fashl keempat
berbicara tentang larangan bagi laki-laki memandang wanita lain dan sebaliknya.[7]
Landasan yang digunakan dalam kitab ‘Uqudu al-Lujjayn
terdiri dari sekitar sepuluh ayat al-Quran dan seratus hadis, baik secara utuh
maupun hanya berupa penggalan-penggalan yang disesuaikan dengan tema
pembahasan, ditambah dengan lima belas hikayat yang bisa dijadikan contoh atau
teladan.[8]
Metode pembahasan yang digunakan Syaikh Nawawi dalam
kitabnya adalah deduksi, yakni dalam pengungkapan pembahasannya yang pertama
digunakan adalah nash-nash al-Quran, lalu menerangkan hadis-hadisnya, setelah
itu baru dikemukakan pendapat ulama dan hikayatnya. Sebagai contoh pada bab pertama, yakni tentang kewajiban suami
terhadap isteri, Imam Nawawi memulai dengan firman Allah surah an-Nisa ayat 19.
Kemudian baru dilanjutkan dengan hadis-hadis yang berbicara tentang tema
tersebut. Kemudian dilengkapi dengan hikayat Nabi Ayyub, Umar, dan Asiyah.
Hadis-hadis yang digunakan dalam kitab karya Syaikh
Nawawi ini tidak semuanya berkualitas sahih. Hal ini berdasarkan penelitian
yang telah dilakukah oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) terhadap kitab ‘Uqudu
al-Lujjayn yang kemudian dibukukan dengan judul Wajah Baru Relasi
Suami-Isteri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Hasil penelitian yang
dilakukan, menunjukkan bahwa kualitas hadis dalam kitab ‘Uqudu al-Lujjayn
bisa dikatakan bervariasi, atau dengan kata lain tidak semuanya sahih. Bahkan
banyak hadis yang dhaif dan maudhu’ digunakan dalam kitab ini.
Berikut penyusun sampaikan beberapa hadis yang
berkualitas dhaif maupun hadis
yang maudhu’:
1. Hadis yang tertulis dalam fashl pertama kitab ‘Uqudu
al-Lujjayn
أيما رجل تزوج
امرأة على ما قل من المهر أو كثر ، ليس في نفسه أن يؤدي إليها حقها خدعها فمات ولم
يؤد إليها حقها لقي الله تعالى يوم القيامة وهو زان
“Jika
seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan maskawin dalam jumlah kecil
atau besar, tetapi dalam hatinya tidak ada niat untuk menunaikan kewajiban
tersebut terhadapnya, maka ia mengkhianatinya. Apabila ia mati dan belum menunaikan kewajibannya itu, maka ia akan
bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan menanggung dosa zina.”
Hadis ini diriwayatkan dari Shuhaib,
Abu Hurairah, dan Maimun dari ayahnya. Ketiga jalur ini mempunyai kelemahan
(dhaif). Menurut as-Suyuthi hadis ini dhaif. Al-Munawi sependapat dengannya.[9]
2. Hadis yang tertulis dalam fashl pertama kitab ‘Uqudu
al-Lujjayn
من
صبر على سوء خلق امرأته أعطاه الله من الأجر مثل ما أعطى أيوب
“Barang siapa yang sabar
menghadapi keburukan budi pekerti isterinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti
yang diberikan kepada Nabi Ayyub as. Atas cobaan yang menimpanya.
Para peneliti belum tidak menemukan
perawi hadis ini dan kitab-kitab yang masyhur juga tidak menyebutkannya. Dengan
demikian hadis di atas adalah maudhu’.[10]
3.
Hadis yang
tertulis dalam fashl ketiga kitab ‘Uqud al-Lujjayn
إن
المرأة إذا خرجت من بيتها وزوجها كاره لعنها كل ملك في السماء وكل شئ مرت عليه غير
الجن والإنس حتى ترجع أو تتوب
“Sesungguhnya apabila
seorang isteri keluar dari rumahnya sedangkan suaminya tidak rela, (tidak
ridha), maka selain dilaknat oleh jin dan manusia ia juga akan dilaknat oleh
setiap malaikat di langit dan setiap sesuatu yang dilewatinya, selain jin dan
manusia sampai ia kembali dan bertaubat."
Hadis
ini diriwayatkan ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath. Menurut
al-Mundziri para perawi hadis ini tsiqah kecuali Suwaid bin Abd al-Aziz.
Al- Haitami berpendapat bahwa Suwaid
adalah perawi yang ditinggalkan (matruk). Menurut Ahmad, ia perawi dhaif,dan di
lain riwayat, ia perawi yang ditinggalkan (matruk). Ibn Hajar berpendapat bahwa
ia perawi dhaif. Dari berbagai pendapat tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa
hadis tersebut dhaif jiddan dan tidak dapat dijadikan pedoman.[11]
Penutup
Kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn merupakan karya dari Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab yang terdiri
dari 22 halaman ini disusun dalam bentuk koras, dan dicetak dengan kertas
kuning, sehingga disebut juga sebagai kitab kuning.
Tema
pokok dalam kitab ini adalah tentang kewajiban suami-isteri. Kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn berusaha menyajikan secara ringkas bagaimana cara membangun sebuah
keluarga yang berlandas pada al-Quran dan Sunnah. Di dalam kitab ini berusaha
menyampaikan apa saja kewajiban dan hak suami kepada isteri dan sebaliknya.
Metode
yang digunakan Syaikh Nawawi dalam menyusun kitabnya adalah metode deduksi,
yakni dalam
pengungkapan pembahasannya yang pertama digunakan adalah nash-nash al-Quran,
lalu menerangkan hadis-hadisnya, setelah itu baru dikemukakan pendapat ulama
dan hikayatnya. Berkaitan dengan kualitas hadis-hadis yang digunakan, tidak
semuanya dapat dinilai sahih. Bahkan banyak hadis yang dinilai dhaif maupun
maudhu’.
Daftar
Pustaka
Wahid, Sinta Nuriyah Abdurrahman, dkk. Wajah Baru
Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn. Yogyakarta: LkiS.
2003.
Nawawi, Muhammad
bin Umar. Syarh ‘Uqudu al-Lujjayn. Daru Ihya’ al-kitab al-‘Arabiyah.
Tt.
[1]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah
Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn,
(Yogyakarta: LkiS,
2003), hlm. 207.
[4]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah
Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 209.
[5]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953
[6]
Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir
Kamus Arab-Indonesia, hlm. 1255.
[7]Muhammad bin Umar Nawawi, Syarh ‘Uqudu
al-Lujjayn, (Daru Ihya’ al-kitab al-‘Arabiyah, tt), hlm. 3.
[8]Skripsi UIN
[9]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah
Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 17.
[10]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah
Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 19.
[11] Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid,
dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 131.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar