Selasa, 22 Oktober 2013

Mengenal Kitab 'Uqudu al-Lujjayn


A.    Biografi Pengarang
Kitab ‘Uqudu al - Lujain dikarang oleh Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar bin Arabi atau lebih dikenal dengan Syaikh Nawawi al-Bantani. Beliau lahir pada tahun 1230 H/1813 M di Tanara Tirtayasa, Serang, Banten. Nawawi al-Bantani merupakan putera seorang tokoh yang dihormati karena ilmu agamanya. Garis nasabnya bersambung sampai Maulana Syarif Hidayatullah atau disebut juga sebagai Sunan Gunung Jati.[1]
Pendidikannya diawali dengan berguru kepada ayahnya sendiri, kemudian dilanjutkan dengan belajar di pesantren-pesantren di Jawa. Pada tahun 1828 M, dua tahun setelah ayahnya meninggal, beliau menunaikan ibadah haji dan bermukim di Makkah. Di sana beliau memperdalam ilmu-ilmu agama selama tiga tahun. Waktu luangnya beliau gunakan untuk mengajar di Masjid al-Haram dan menulis buku. Tidak berapa lama setelah kepulanggannya ke Banten, beliau kembali lagi ke Makkah sampai akhir hayatnya tahun 1314 H/1897 M. Beliau wafat pada usia 84 tahun dan dimakamkan di pemakaman Ma’la.
Beberapa ulama baik dari Indonesia maupun Makkah yang pernah menjadi gurunya adalah Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Ghani Bima, Syaikh Ahmad Nahrawi, Syaikh Yusuf Sumbulawini, dan Syaikh Abdul Hamid Daghastani.[2]
Nawawi al-Bantani dikenal sebagai nenek oyang intelektual para ulama.Beberapa tokoh ulama besar pernah berguru kepadanya, seperti KH. Khalil Madura, KH. Hasyim Asy’ari Jombang, Raden Asnawi Kudus, dan Ahmad Khatib Minangkabau.

Snouck Hurgronje memuji beliau sebagai orang Indonesia yang paling alim dan rendah hati serta sebagai seorang penulis yang berbakat dan produktif. [3] Beliau menulis lebih dari 100 kitab dalam berbagai bidang, seperti aqidah, tafsir, ulumul Quran, hadis, fiqh, tasawuf, sejarah, dan biografi. Sebagian karyanya perupakan penjelasan (syarah) atas karya ulama lain. Di Indonesia, karya-karya beliau banyak digunakan sebagai referensi para santri dan masyarakat pada umumnya, seperti Tijan ad-Durar, Nur azh-Zhalam, Fath al-Majid (karya di bidang aqidah), Tafsir al-Munir (karya di bidang tafsir), Tanqih al-Qaul (karya di bidang hadis), Sulam al-Munajat, Nihayah az-Zayn, Kasyifah as-Saja (karya di bidang fiqh), Qami at-Thugyan, Nasha’id al-Ibad, Minhaj ar-Ragibin (karya di bidang tasawuf), serta kitab yang mengatur relasi suami isteri, yakni ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn.[4]
B.     Tinjauan terhadap Kitab
Nama kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn, memiliki beberapa kata yang memiliki makna tertentu. ‘uqudu berasal dari kata ‘aqada-‘aqdan yang berarti menyimpulkan, mengikat (tali). Bentuk jamaknya adalah ‘uquudun yang berarti perjanjian (yang tercatat), kontrak.[5] al-Lujjayn berarti perak.[6] Sehingga ‘Uqudu al-Lujjayn mempunyai arti ikatan dua perak. Jika digabungkan pada kalimat selanjutnya, maka saksud dari ikatan dua perak itu adalah ikatan suami isteri. Secara sekilas dapat diketahui bahwa Syaikh Nawawi keluarga menempatkan keluarga pada posisi yang tinggi, sehingga beliau mengggunakan perak sebagai kiasan.
Sebagaimana kitab klasik pada umumnya, kitab ‘Uqud al-Lujjayn juga dicetak di atas kertas berwarna kuning, sehingga disebut juga dengan kitab kuning. Kitab yang terdiri dari 22 halaman ini dicetak dengan model koras (bendel-bendel tipis) seperti koran.
Syaikh Nawawi membagi kitabnya menjadi empat pokok pembahasan dengan menggunakan istilah fashl. Fashl pertama berbicara tentang kewajiban suami terhadap isteri, berupa pergaulan yang baik, nafkah, mahar, adil dalam penggiliran (bagi yang berpoligami), pengajaran kepada isteri tentang ibadah-ibadah yang wajib dan sunah, termasuk sunah gairu muakkadah, pengajaran hal-hal yang berhubungan dengan haid, dan kewajiban mentaati suami pada hal-hal yang tidak berbau maksiat. Fashl kedua menjelaskan tentang kewajiban isteri terhadap suami, berupa patuh terhadap suami pada hal-hal yang tidak berbau maksiat, pergaulan yang baik, menyerahkan diri seutuhnya kepada suami, selalu berada di rumah, menjaga diri untuk tidak berselingkuh dengan orang lain (zina), menutup tubuh dari pandangan orang lain, termasuk wajah dan telapak tangannya, sebab memandang bagian-bagian tubuh itu adalah haram walaupun tanpa syahwat dan tidak menimbulkan fitnah, tidak menuntut hal-hal yang tidak perlu kepada suami walaupun ia tahu bahwa suaminya mampu, menghindari harta haram suaminya, dan tidak berbohng dalam hal haid. Fashl ketiga membahas keutamaan sala di rumah bagi wanita. Salatnya wanita di dalam rumah lebih utama daripada salat jama’ah bersama Rasulullah. Hal ini sesui dengan yang disabdakan Nabi dalam hadisnya. Fashl keempat berbicara tentang larangan bagi laki-laki memandang wanita lain dan sebaliknya.[7]
Landasan yang digunakan dalam kitab ‘Uqudu al-Lujjayn terdiri dari sekitar sepuluh ayat al-Quran dan seratus hadis, baik secara utuh maupun hanya berupa penggalan-penggalan yang disesuaikan dengan tema pembahasan, ditambah dengan lima belas hikayat yang bisa dijadikan contoh atau teladan.[8]
Metode pembahasan yang digunakan Syaikh Nawawi dalam kitabnya adalah deduksi, yakni dalam pengungkapan pembahasannya yang pertama digunakan adalah nash-nash al-Quran, lalu menerangkan hadis-hadisnya, setelah itu baru dikemukakan pendapat ulama dan hikayatnya. Sebagai contoh pada bab pertama, yakni tentang kewajiban suami terhadap isteri, Imam Nawawi memulai dengan firman Allah surah an-Nisa ayat 19. Kemudian baru dilanjutkan dengan hadis-hadis yang berbicara tentang tema tersebut. Kemudian dilengkapi dengan hikayat Nabi Ayyub, Umar, dan Asiyah.
Hadis-hadis yang digunakan dalam kitab karya Syaikh Nawawi ini tidak semuanya berkualitas sahih. Hal ini berdasarkan penelitian yang telah dilakukah oleh Forum Kajian Kitab Kuning (FK3) terhadap kitab ‘Uqudu al-Lujjayn yang kemudian dibukukan dengan judul Wajah Baru Relasi Suami-Isteri: Telaah Kitab ‘Uqud al-Lujjayn. Hasil penelitian yang dilakukan, menunjukkan bahwa kualitas hadis dalam kitab ‘Uqudu al-Lujjayn bisa dikatakan bervariasi, atau dengan kata lain tidak semuanya sahih. Bahkan banyak hadis yang dhaif dan maudhu’ digunakan dalam kitab ini.
Berikut penyusun sampaikan beberapa hadis yang berkualitas dhaif maupun hadis yang maudhu’:
1.      Hadis yang tertulis dalam fashl pertama  kitab ‘Uqudu al-Lujjayn
أيما رجل تزوج امرأة على ما قل من المهر أو كثر ، ليس في نفسه أن يؤدي إليها حقها خدعها فمات ولم يؤد إليها حقها لقي الله تعالى يوم القيامة وهو زان
“Jika seorang laki-laki menikahi seorang wanita dengan maskawin dalam jumlah kecil atau besar, tetapi dalam hatinya tidak ada niat untuk menunaikan kewajiban tersebut terhadapnya, maka ia mengkhianatinya. Apabila ia mati dan belum menunaikan kewajibannya itu, maka ia akan bertemu dengan Allah di hari kiamat dengan menanggung dosa zina.”
Hadis ini diriwayatkan dari Shuhaib, Abu Hurairah, dan Maimun dari ayahnya. Ketiga jalur ini mempunyai kelemahan (dhaif). Menurut as-Suyuthi hadis ini dhaif. Al-Munawi sependapat dengannya.[9]
2.      Hadis yang tertulis dalam fashl pertama  kitab ‘Uqudu al-Lujjayn
من صبر على سوء خلق امرأته أعطاه الله من الأجر مثل ما أعطى أيوب
“Barang siapa yang sabar menghadapi keburukan budi pekerti isterinya, maka Allah akan memberinya pahala seperti yang diberikan kepada Nabi Ayyub as. Atas cobaan yang menimpanya.
Para peneliti belum tidak menemukan perawi hadis ini dan kitab-kitab yang masyhur juga tidak menyebutkannya. Dengan demikian hadis di atas adalah maudhu’.[10]
3.      Hadis yang tertulis dalam fashl ketiga kitab ‘Uqud al-Lujjayn
إن المرأة إذا خرجت من بيتها وزوجها كاره لعنها كل ملك في السماء وكل شئ مرت عليه غير الجن والإنس حتى ترجع أو تتوب
“Sesungguhnya apabila seorang isteri keluar dari rumahnya sedangkan suaminya tidak rela, (tidak ridha), maka selain dilaknat oleh jin dan manusia ia juga akan dilaknat oleh setiap malaikat di langit dan setiap sesuatu yang dilewatinya, selain jin dan manusia sampai ia kembali dan bertaubat."
      Hadis ini diriwayatkan ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jam al-Awsath. Menurut al-Mundziri para perawi hadis ini tsiqah kecuali Suwaid bin Abd al-Aziz. Al- Haitami  berpendapat bahwa Suwaid adalah perawi yang ditinggalkan (matruk). Menurut Ahmad, ia perawi dhaif,dan di lain riwayat, ia perawi yang ditinggalkan (matruk). Ibn Hajar berpendapat bahwa ia perawi dhaif. Dari berbagai pendapat tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa hadis tersebut dhaif jiddan dan tidak dapat dijadikan pedoman.[11]


Penutup
            Kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn merupakan karya dari Syaikh Nawawi al-Bantani. Kitab yang terdiri dari 22 halaman ini disusun dalam bentuk koras, dan dicetak dengan kertas kuning, sehingga disebut juga sebagai kitab kuning.
            Tema pokok dalam kitab ini adalah tentang kewajiban suami-isteri. Kitab ‘Uqudu al-Lujjayn fi Bayan Huquq az-Zaujayn berusaha menyajikan secara ringkas bagaimana cara membangun sebuah keluarga yang berlandas pada al-Quran dan Sunnah. Di dalam kitab ini berusaha menyampaikan apa saja kewajiban dan hak suami kepada isteri dan sebaliknya.
            Metode yang digunakan Syaikh Nawawi dalam menyusun kitabnya adalah metode deduksi, yakni dalam pengungkapan pembahasannya yang pertama digunakan adalah nash-nash al-Quran, lalu menerangkan hadis-hadisnya, setelah itu baru dikemukakan pendapat ulama dan hikayatnya. Berkaitan dengan kualitas hadis-hadis yang digunakan, tidak semuanya dapat dinilai sahih. Bahkan banyak hadis yang dinilai dhaif maupun maudhu’.


Daftar Pustaka

Wahid, Sinta Nuriyah Abdurrahman, dkk. Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn. Yogyakarta: LkiS. 2003.
Nawawi, Muhammad bin Umar. Syarh ‘Uqudu al-Lujjayn. Daru Ihya’ al-kitab al-‘Arabiyah. Tt.


[1]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, (Yogyakarta: LkiS, 2003), hlm. 207.
[2]Skripsi UIN,
[3]
[4]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 209.
[5]Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), hlm. 953
[6] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia, hlm. 1255.
[7]Muhammad bin Umar Nawawi, Syarh ‘Uqudu al-Lujjayn, (Daru Ihya’ al-kitab al-‘Arabiyah, tt), hlm. 3.
[8]Skripsi UIN
[9]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 17.
[10]Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 19.
[11] Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dkk., Wajah Baru Relasi Suami Istri: Telaah Kitab Uqud al-Lujjayn, hlm. 131.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar