Sabtu, 19 Oktober 2013

Sepucuk Kisah Perempuan, Riffat Hassan

Pendahuluan
A. Latar Belakang
Tafsir pada masa era kontemporer tidak dapat terlepas dari berbagai permasalahan sosial historis yang sedang berkembang. Salah satu paham yang berkembang pada masa kontemporer adalah kesetaraan gender yang diusung oleh para feminis. Paham feminis sendiri memiliki berbagai macam madzhab atau pun aliran. Paham feminis ini sendiri ikut mempengaruhi arus penafsiran yang ada. Muncul beberapa tokoh penafsir dari kalangan feminis, seperti Amina Wadud, Fatima Mernissi, dan Riffat Hassan. Mereka memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam menganalisis masalah gender.
Pada makalah kali ini, akan dibahas pemikiran tokoh Riffat Hassan. Ia adalah salah satu tokoh feminis dari Pakistan. Paham fminis melekat pada dirinya berawal dari kondisi keluarganya yang selalu mengalami konflik. Dimulai dengan kondisi keluarga, dan didukung dengan kajian intelektual yang terus-menerus tentang perempuan dalam perspektif Islam, membuatnya menghasilkan berbagai pemikiran baik yang tertuang dalam tulisan ataupun dalam organisasi gerakan perempuan. Dia menjadi sosok aktivis perempuan yang ternama di dunia Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Riffat Hassan?
2. Bagaimana konsep pemikiran Riffat Hassan?
3. Bagaimanakah contoh penafsiran ayat al-Quran menurut Riffat Hassan?

Pembahasan
A. Biografi Riffat Hassan
1. Latar Belakang Sosio Histori Riffat Hassan
Riffat Hassan lahir pada tanggal 29 Juli 1943, di Lahore, Pakistan. Ia lahir dalam keluarga Sayyid (keturunan Nabi Muhammad, dianggap sebagai kasta umat Islam paling tinggi, sekalipun umat Islam terus -menerus memprotes gagasan bahwa Islam memiliki sistem kasta). Ayah dan ibu Riffat berasal dari kalangan keluarga paling tua dan paling terkemuka di kotanya. Sebagai puteri dari keluarga yang terpandang, tentunya ia mendapatkan pendidikan yang berkualitas pula. Ia disekolahkan di sekolah menengah berbahasa Inggris dengan kualitas terbaik.
Riffat yang menjadi bagian dari keluarga terkemuka, tertanya tidak memiliki kebahagiaan pada masa kanak-kanaknya. Kehidupannya selama tujuh belas tahun pertama penuh dengan kegelapan yang menakutkan. Ia tidak menemukan kebahagiaan masa kecil, tetapi justru ketakutan dan kebingungan yang menyelimutinya setiap waktu.
Kegelapan yang demikian disebabkan kondisi ayah dan ibunya yang terus mengalami konflik dan tidak pernah sejalan. Ayah Riffat yang bernama Begum sebagaimana yang ia ceritakan, merupakan seorang patriarkhi daerah itu. Ayahnya menganut pandangan dan cara hidup yang sangat tradisional. Baginya, yang terbaik bagi gadis-gadis adalah menikah pada usia 16 tahun dengan seorang laki-laki pilihan orang tuanya. Meski demikian, ia memiliki sisi baik, yakni penyayang, suka membantu menyelesaikan persoalan orang lain, baik masalah pribadi, profesional, maupun sosial.
Ibunya, Dilara, berbeda dengan ayahnya, dia adalah seorang yang berpandangan feminis, bahkan menurut Riffat, ibunya masuk dalam kategori feminis radikal. Dia tidak mau berkompromi dengan kebudayaan Islam tradisional yang meneguhkan inferioritas dan ketundukan perempuan kepada laki-laki. Ia tidak tunduk pada suaminya. Mendidik anak perempuan baginya lebih penting daripada mendidik anak laki-laki. Hal ini disebabkan perempuan lahir dengan rintangan yang hebat. Bagaimana tidak, pada masa Arab pra-Islam, bayi perempuan akan dikubur hidup-hidup karena dianggap sebagai beban ekonomi dan ancaman bagi kehormatan sukunya. Sekalipun sudah memasuki pra-Islam, sikap mereka terhadap anak perempuan tetap sama. Pandangan radikal lainnya adalah perkawinan hanya sebagai kejahatan aripada sesuatu yang ideal. Beliau tidak menginginkan Riffat berpikir tentang perkawinan, karena perkawinan adalah perbudakan dan halangan besar untuk berkembang, tumbuh, dan maju.
Untuk mengatasi pergolakan batin yang disebabkan adanya konflik antara ayah dan ibunya, Riffat memilih cara untuk menarik diri ke sebuah dunia doa-doa, mimpi-mimpi, dan pemikiran kanak-kanak yang bijaksana. Dengan cara demikian, dia dapat menemukan tiga hal yang membuatnya dapat melepaskan diri dari kehancuran hati dan kesulitan hiup, yakni keyakinan yang kokoh pada Tuhan yang adil dan penyayang, seni menulis puisi, dan kecintaan yang dalam kepada buku.
2. Pendidikan dan Karir Intelektual
Pendidikan yang ditempuh Riffat dapat dikategorikan menjadi pendidikan informal dan formal. Pendidikan informal dia dapatkan dari pengalaman dan realitas empiris, baik dalam keluarga, maupun dalam masyarakatnya, ditambah dengan kegemarannya membaca buku-buku secara otodidak.
Pendidikan formalnya dimulai dengan sekolah menengah berbahasa Inggris yang merupakan sekolah terbaik di daerahnya sekaligus menjadi sebuah simbol bagi status dalam masyarakat. Dengan bekal kemampuan bahasa inggrisnya, dia mengembangkan dunia tulis-menulis yang telah digemarinya.
Jenjang pendidikan selanjutnya adalah di Mary’s College University of Durham, Inggris. Tiga tahun kemudian ia berhasil meraih predikat cumlaude dalam bidang sastra Inggris dan Filsafat. Kemudian pada usia 24 tahun, ia berhasil meraih gelar doktor di bidang filsafat dengan disertasi tentang Muhammad Iqbal, seorang penyair dan filosof dari Pakistan yang telah ia kagumi sejak kecil.
Pada tahun 1972, ia menjabat sebagai dosen penasihat Organisasi Mahasiswa Islam Cabang Oklahoma State University di Stillwater. Dia diminta untuk menjadi pembicara pada sebuah seminar tentang perempuan dalam Islam. Dia menyangupi untuk menjadi pembicara karena dia merasa bosan dengan semua laki-laki muslim Arab yang dengan bangganya mengajarkan budaya patriarkhi dan dia ingin mengajarkan tentang posisi atau pun peran wanita dalam Islam melalui sudut pandang wanita.
Pada tahun 1976, Riffat Hassan tinggal di Amerika Serikat dan menjadi seorang profesor sekaligus menjabat sebagai ketua jurusan program Religious Study di Louesville University, Kentuky, United Stated of Amerika. Pada tahun 1987-1988 ia menjadi dosen tamu di Difinity School of Harvard University. Sebelumnya, pada tahun 1983-1984 ia terlibat dalam proyek penelitian di Pakistan, pada masa pemerintahan Ziaul Haq dan Program Islamisasi.
Pemikiran-pemikiran dan keaktiannya dalam berbagai organisasi perempuan menjadikannya sebagai aktivis perempuan yang diperhitungkan di dunia Islam. Oleh sebagian kalangan, ia dinilai memberikan sumbangan yang besar bagi gerakan-gerakan perempuan.
3. Karya-karya Riffat Hassan
Berikut beberapa karya Riffat Hassantentang perempuan:
1. Equal Before Allah? Women Man Equality in Islamic Tradition
2. The Role and Responsibilities of Women in the Legal and Ritual Tradition of Islam
3. Feminis Teologi and Women in the Muslim World
4. What does it Mean to be a Muslim Today?
5. Women Living Under Muslim Laws
6. Muslim Women and Post Patriachal Islam
7. The Issue of Women-men Equality in Islamic Tradition
8. Jihad fi Sabilillah; a Muslim Women’s Faith Journey from Struggle to Struggle
9. Women’s and Men’s Liberation
10. Women’s Rights in Islam
11. Women Religion and Sexuality
12. Members; One of Another: Gender Ewuality and Justice in Islam
B. Konsep Pemikiran Riffat Hassan
Riffat Hassan berpandangan bahwa salah satu penyebab ketidaksetaraan pria dengan wanita adalah pemahaman ataupun landasan teologis yang selama ini ada. Pemahaman seseorang tentang terhadap landasan teologis akan mempengaruhi pola pikirannya, selanjutnya, pola pikiran akan mempengaruhi pola perilaku. Hasil studinya menunjukkan adanya tiga asumsi teologis yang menimbulkan superioritas laki-laki atas perempuan, pertama, ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karenanya, secara ontologi bersifat derivatif dan sekunder, kedua perempuan adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari surga Aden. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, jijik, dan curiga, ketiga, perempuan tidak saja diciptakan dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya bersifat instrumental dan tidak memiliki sifat mendasar.
Padahal, al-Quran pada dasarnya memuat nilai-nilai mendasar seperti semangat kebebasan, keadilan, kesejajaran dan penghormatan atas hak-hak asasi kemanusiaan yang seharusnya dapat teraktualisasikan alam historisitas kemanusiaan yang nyata. Sehingga di sini, ada kesenjangan antara yang normatif dan historis. Oleh karena itu, Riffat kemudian mengadakan dekonstruksi terhadap penafsiran ayat-ayat al-Quran yang mengandung bias-bias patriarkhi.
1. Konsep al-Quran
Dua hal yang terpenting yang menjadi sumber tradisi Islam adalah al-Quran dan Hadis. Al-Quran memilik posisi yang lebih penting. Ia memiliki otoritas yang absolut karena diyakini sebagai risalah Tuhan yang murni yang disampaikan melalui malaikat Jibril kepada Muhammad SAW, lalu disampaikan beliau kepada para pengikutnya tanpa mengalami perubahan maupun kekeliruan. Baginya, al-Quran adalah sabda Tuhan yang merupakan orma ideal Islam yang mestinya menjadi pedoman bagi umat manusia masa lalu dan masa mendatang.
Untuk memahami al-Quran perlu digunakan dua pendekatan. Pertama, pendekatan normatif-idealis, yakni untuk merumuskan konsep teologi feminis harus merujuk pada sumber-sumber ajaran Islam yang ideal, yakni al-Quran dan hadis. Dengan kata lain, pendekatan ini berusaha untuk melihat bagaimana al-Quran berbicara tentang prinsip-prinsip dasar suatu konsep. Pendekatan ini bersifat deduktif, karena terlebih dahulu melihat sisi ideal normatifnya, baru dijabarkan kenyataan empiris yang ada dalam masyarakat. Kedua, pendekatan historis -empiris. Pendekatan ini berusaha untuk melihat bagaimana kenyataan empiris-historis kondisi perempuan dalam masyarakat Islam. Dengan dua pendekatan yang dilakukan secara dialektis-intgratif dan fungsional, ,aka akan didapatkan pemahaman yang komprehensif tentang isu-isu kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam al-Quran, sistem relasi yang adil antara keduanya, dan semangat menghormati hak-hak asasi manusia.
2. Prinsip Penafsiran dan Metode Analisis
Riffat Hassan mengembangkan tiga prinsip metodologis yang digunakan untuk melakukan penafiran :
a. Memeriksa ketepatan makna kata (language accuracy) dari berbagai konsep yang ada dalma al-Quran dengan menggunakan analisis semantik.
b. Melakukan pengujian atas konsistensi filosofis dari penafsiran-penafsiran yang telah ada. Ini berarti teori kebenaran yang digunakan adalah teori koherensi.
c. Menggunakan prinsip etis, yang didasarkan pada prinsip keadilan yang merupakan pencerminan dari justice of God atau keadilan Tuhan.
Riffat mengggunakan metode analisis historis kritis kontekstual. Ketika ia berhadapan dengan sumber-suber tradisi Islam yang telah dipraktikkan, maka ia akan melihat bagaimana seting historisnya, bagaimana teks-teks itu dipahami dan asumsi-asumsi apa yang dipakai untuk membangun konsep. Selanjutnya dalam menganalisis, dia akan menggunakan metode komparas, dengan melakukan studi perbandingan antar teks, termasuk teks-teks Injil dalam Genesis II. Untuk metode kontekstualnya, diterapkan pada pemaknaan kata pada ayat al-Quran dengan meihat konteksnya, baik yang husus maupun yang umum. Dengan demikian, dapat ditemukan mana yang legal formal dan mana yang ideal moral.
C. Contoh Penafsiran
Salah satu contoh penafsirannya adalah isu tentang penciptaan Adam sebagai manusia pertama, yang kemudian menimbulkan persepsi bahwa Hawa lebih rendah atau subordinat dari Adam.
Istilah adam yang disebutkan dalam al-Quran sebanyak 25 kali, berasal dari bahasa Ibrani, ‘adamah yang berarti tanah dan sebagian besar berfungsi sebagai istilah generic untuk manusia. Di dalam al-Quran tidak ada pernyataan pasti bahwa Adam merupakan manusia pertama yang diciptakan Allah. Istilah ini berfungsi sebagai kata benda kolektif dan mengacu pada umat manusia yang dipertegas oleh suatu analisis terhadap beberapa ayat di mana istilah ini muncul. Hal ini juga dipertegas dengan adanya sapaan bagi semua umat manusia dengan sebutan “anak-anak adam” (bani Adam) dalam surah al-A’raf ayat 26, 27, 31, 35,172, surah bani Israil ayat 70, dan surah Yasin ayat 36. Fakta pendukung lainnya adalah al-Quran kadang-kadang mengganti istilah adam dengan insan atau bashar yang keduanya merupakan istilah generik bagi manusia. Yang patut untuk dicermati lagi adalah al-Quran menggunakan istilah bshar, al-insan, dan an-nas untuk menggambarkan proses penciptaan manusia secara fisik. Al-Quran menggunakan istilah Adam untuk mengacu pada manusia hanya apabila mereka menjadi representasi manusia yang sadar diri, berpengetahuan, dam otonom secara moral.
Dalam surah lain, al-Baqarah ayat 35, al-A’raf ayat 19, dan Taha ayat 117, al-Quran berbicara tentang adam dan zauj. Hampir semua orang Islam beranggapan bahwa Adam merupakan manusia pertama dan laki-laki. Jika adam merupakan seorang laki-laki,maka zauj berarti perempuan. Padahal, al-Quran tidak menyatakan dengan jelas dan tegas tentang masalah itu. Memang, secara linguistik, adam merupakan kata benda maskulin, tetapi bukan menyangkut jenis kelamin. Sedangkan zauj, juga merupakan kata benda maskulin, tetapi ia mempunyai bentuk feminim, zaujatun. Istilah zauj yang berarti perempuan hanya digunakan di Hijaz. Daerah lain menggunakan istilah zaujatun untuk menyebut perempuan. Dalam perundang-undangan Arab, untuk menyebutkan istilah perempuan,juga mengggunakan istilah zaujatun. Lantas, mengapa kemudian al-Quran yang secara meyakinkan tidak hanya untuk orang Hijaz menggunakan istilah zauj bukan zaujatun, seandainya yang dimaksudkan itu sungguh-sungguh untuk perempuan? Riffat berpendapat bahwa penggunaan adam dan zauj yang itu bukan saja menyangkut masalah jenis kelamin, tetapi menyangkut jumlah, karena tujuannya tidak untuk menceritakan peristiwa-peristiwa tertentu dalam kehidupan seorang laki-laki dan seorang perempuan, tetapi untuk mengacu pada pada beberapa pengaaman hidup semua manusia, laki-laki dan perempuan secara bersama-sama.
Contoh kedua mengenai pemakaian jilbab. Firman Alla dalam surah al-Ahzab ayat 33,
 •                      
59. Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Penafsiran secara tekstual akan menghasilkan pemahaman bahwa pakaian jilbab atau purdah harus mampu menutupi seluruh tubuh perempuan, selain wajah dan dua telapak tangan. Riffat mencoba melakukan kontekstualisasi konsep jilbab dengan mengambil sisi ideal moralnya. Ideal moral dari pemakaian jilbab adalah agar seorang perempuan tersebut tidak diganggu dan terhormat. Oleh karena itu, jilbab dapat diartikan sebagai pakaian yang menurut kepantasan setempat dan menjadikan perempuan dihormati kemanusiaannya.

Penutup
Riffat Hassan merupakan salah satu tokoh feminis yang lahir di Lahore, Pakistan. Kehidupuan keluarganya yang penuh konflik, yakni antara ayahnya yang konservatif-tradisionais dengan ibunya yang feminis liberal, merupakan gerbang awal dirinya menjadi sosok feminis seperti sekarang ini.
Riffat Hassan berpikiran bahwa ketidaksetaraan gender saat ini disebabkan adanya pemahaman teologis yang keliru. Pemahaman tersebut mencakup tiga hal, pertama, ciptaan Tuhan yang utama adalah laki-laki, bukan perempuan, karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karenanya, secara ontologi bersifat derivatif dan sekunder, kedua perempuan adalah penyebab utama dari apa yang biasanya dilukiskan sebagai “kejatuhan” atau pengusiran manusia dari surga Aden. Oleh karena itu, semua anak perempuan Hawa harus dipandang dengan rasa benci, jijik, dan curiga, ketiga, perempuan tidak saja diciptakan dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya bersifat instrumental dan tidak memiliki sifat mendasar.
Dengan adanya permasalahan tersebut, Riffat hassan berusaha untuk melakukan dekonstruksi terhadap pemahaman-pemahaman yang telah ada. Karena sesungguhnya al-Quran sangat menjunjung nilai-nilai kebebasan, keadilan, dan kesejajaran. Riffat berusaha untuk melakukan penafsiran secara komprehensif melalui pendekatan normatif-idealis dan historis-empiris agar penafsiran yang dihasilkan tidak lagi menimbulkan ketimpangan-ketimpangan.

Daftar Pustaka
Hassan, Riffat Equal Before Allah? Woman-man equality in the Islamic tradition. Harvard Devinity Bulletin (the Devinity School, Harvard University) January-May 1987/ Volume WVII, No. 2.
Mernisi, Fatima dan Rifftat Hassan. Setara di Hadapan Allah: Relasi Perempuan dan Laki-laki dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi. Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa. 1995.
Mustaqim, Abdul. Paradigma Tafsir Feminis. Yogyakarta: Logung Pustaka. t.t.
Razak, Abdul Hamied. Kesetaraan Suami-Isteri dalam Rumah Tangga Menurut Riffat Hassan. Skripsi Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar