Kamis, 02 Januari 2014

Ibnu Maskawaih



PENDAHULUAN
1.    Latar Belakang
Ibnu Maskawaih seorang yang hidup di masa penguasa Islam yang sangat menghargai adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan kesusastraan. Hal ini tentu berpengaruh juga pada pemikirannya. Ia menjadi seorang filosof besar. Kebesarannya ini didukung juga karena kebiasaannya membaca di perpustakaan ibnu al-‘Amid.
Ibnu Maskawaih berhasil memberikan sumbangan pada pemikiran filsafat Islam mengenai berbagai hal. Pada konsep Ketuhanan, ia mengakui adanya Tuhan. Ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu diciptakan dari tiada.
Dalam makalah ini, penulis memaparkan sedikit tentang pemikiran ibnu Maskawaih yang tentunya suatu pemikiran akan menuai pro dan kontra. Semoga mampu menambah cakrawala pengetahuan pembaca tentang filsafat, khususnya filsafat Islam.
2.    Rumusan Masalah
a.       Bagaimanakah riwayat hidup serta karya Ibnu Maskawaih?
b.      Bagaimanakah pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih?


PEMBAHASAN

1.    Riwayat Hidup ibnu Maskawaih
Nama lengkap ibnu Maskawaih adalah Abu Ali al-Khozim Ahmad ibn Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih. Ibnu Maskawaih atau Maskawaih adalah nama masyhurnya. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali. Gelar ini diperoleh dari nama sahabat, Ali, sehingga tidak mengherankan jika ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ibnu Maskawaih adalah penganut aliran Syi’ah. Sedangkan gelar lainnya adalah al-Khazim, yakni bendaharawan. Gelar ini disebabkan pada masa kekuasaan Adhud al-Daulah dari bani Buwaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendahara.
Para penulis berbeda pendapat mengenai tahun kelahiran Ibnu Maskawaih yang lahir di Ray (sekarang Teheran). Morgoliouth mengatakan bahwa Maskawaih lahir pada tahun 320 H/ 932 M, sedangkan Abdul Aziz Izzat berpendapat bahwa Maskawaih lahir pada tahun 325 H. Ibnu Maskawaih wafat pada tanggal 9 Safar 421 H yang bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1032 M.
Ibnu Maskawaih hidup pada masa ‘Adhud al-Daulah yakni penguasa Islam yang berkuasa pertama kali menggunakan gelar Syahinzah yang berarti Maharaja, gelar yang dipergunakan raja-raja Persia Kuno. Prestasinya yang gemilang pada bidang politik, yakni mampu menyatukan kembali negara-negara kecil yang telah memisahkan diri dari pemerintah pusat menjadi imperium sebagaimana dialami pada masa Harun al-Rasyid, diikuti pula oleh prestasinya dalam perkembangan pengetahuan dan kesusastraan, sehingga tidak heran kalau Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga. Namun ada hal yang mengusik hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang melanda masyarakat. Oleh karena itu Maskawih lantas tertarik untuk menitikberatkan perhatiaannya pada bidang etika Islam.
2.    Riwayat Pendidikan ibnu Maskawaih
Tidak diketahui secara jelas riwayat pendidikan ibnu Maskawaih. Namun dapat diduga bahwa belajarnya sama dengan kebiasaan anak pada masanya. Ahmad Amin menjelaskan bahwa pendidikan anak pada masa ‘Abbasiyah diawali dengan belajar membaca, menulis, mempelajari al-Quran, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat syair). Semua mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau. Untuk keluarga berada, mereka akan mendatangkan guru privat ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah itu, mereka akan mempelajari ilmu fiqh, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India), dan matematika. Selain itu mereka juga diberi ilmu praktis, seperti musik, bermain catur, dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Maskawaih diduga juga mengalami masa muda yang seperti itu, namun ada dugaan pula Maskawaih tidah menggunakan jasa guru privat, karena ia bukan dari kalangan berada. Perkembangan pengetahuannya ini merupakan buah hasil dari ketekunannya dalam membaca. Pengetahuannya yang menonjol sebagai hasil dari banyaknya ia membaca buku adalah tentang sejarah, filsafat, dan sastra. Ia kemudian dikenal sebagai filosof, selain itu juga dikenal sebagai Bapak Etika Islam karena ialah yang pertama kali mengemukakan teori tentang etika dan menulis buku tentang etika.
3.    Karya-karya ibnu Maskawaih
Berikut ini beberapa kara ibnu Maskawaih:
a.       Kitab al-Fauz al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa, dan kenabian (metafisika).
b.      Kitab al-Fauz al-Akbar, tentang etika.
c.       Kitab Thabarat al-Nafs, tentang etika.
d.      Kitab Tahdzib al-Akhlaq wa Tath-hir al-‘Araq, tentang etika.
e.       Kitab Tartib as-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Banu Buwaih.
f.       Kitab Tajarib al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H.
g.      Kitab al-Jami’, tentang ketabiban.
h.      Kitab al-Adwiyah, tentang obat-obatan.
i.        Kitab al-Asyribah, tentang minuman.
j.        Kitab al-Mustaudi, berisi kumpulan syair-syair pilihan.
k.      Kitab Maqalat fi al-Nafsi wa al-‘Aql, tentang jiwa dan akal.
l.        Kitab Jawizan Khard (Akal Budi), yang membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.
4.    Pemikiran Filsafat Maskawaih
a.      Hikmah dan Falsafah Menurut ibnu Maskawaih
Maskawaih membedakan antara hikmah dengan filsafat. Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui segala yanga ada (al-maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui perkara-perkara ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[1]
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi otensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu hingga dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasonalnya yang dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari kesempurnaan moral adalah sama dapat mengatur hubungan antarsesama manusia hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.[2]
b.      Pemikiran ibn Maskawaih tentang Ilmu Pengetahuan
Maskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu yang wujud ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa fase yang keseluruhannya merupakan mata rantai kehidupan. Bahwa segala pada fase pertama merupakan sesuatu yang sederhana, kemudian senantiasa berevolusi dan berkembang sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi.[3] Demikian pula dengan manusia, revolusi manusia tidak hanya masalah fisik, namun tingkat kecerdasannya pun turut berkembang. Kecerdasan atau cara berpikir ini bertambah maju hingga menjadi bijaksana atau bahkan sampai derajat malaikat.
Maskawaih menetapkan adanya prinsip kebenaran Kenabian dan adanya kebenaran wahyu, hanya saja untuk mencapai tingkatan ini, ada dua jalan:[4]
1.      Perenungan tentang hakikat segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam pandangan, sehingga akhirnya dapat mengenal soal-soal Ketuhanan. Tingkat ini dapat didapat oleh para filosof.
2.      Manusia mungkin sekali tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan akal pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang terpilih, yaitu para nabi.
c.       Pemikiran Maskawaih tentang Ketuhanan
Menurut Maskawaih, membuktikan adanya Tuhan adalah mudah, karena kebenarannya tentang ada Tuhan telah terbukti pada dirinya sendiri dengan amat jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal manusia untuk menjangkaunya. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhrinya akan sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran adanya.[5]
Maskawaih mengatakan bahwa konsep adanya Tuhan telah dijelaskan sejak dulu. Ia berusaha membuktikan Tuhan yang Esa dengan cara menidakkan atau negasi. Sebagai contoh, Tuhan itu bukan suatu badan, Tuhan tidak bergerak, Tuhan tidak menciptakan, dan sebagainya. Tuhan tidak sama dengan suatu konsepsi apa pun, yang dalam filsafat dikenal dengan istilah “tan kena kinaya ngapa”.
Selain dengan negasi, ia juga menggunakan argumen gerak atau perubahan yang terjadi pada alam, yang diambil dari Aristoteles. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala sesuatu dari tiada, sebab tidak ada artinya mencipta, jika yang diciptakan telah wujud sebelumnya. Jadi segala sesuatu itu diciptakan dari tiada.

KESIMPULAN
            Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ibnu Maskawaih adalah seorang filosof Islam yang besar. Lebih mengagumkan adalah kebesarannya dalam filsafat ini tidak ia tempuh melalui pendidikan formal, melainkan secara otodidak. Namun yang perlu diperhatikan adalah pengaruh filsafat Yunani sangat besar dalam pikirannya, dan terkesan menomor duakan ajaran agama. Hal ini terlihat salah satunya ketika konsep Ketuhanan, ia malah menggunakan konsep gerak dari aristoteles. Sedangkan hasilnya yang sangat membantu perkembangan dunia adalah tentang teori etika dan buku-buku etikanya, yang ia hasilkan karena melihat moral masyarakat yang buruk, sehingga diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan moral masyarakat.
           



Daftar Pustaka
Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2007.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta:Rineka Cipta. 1997.









           






       [1] A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 169.
       [2] Ibid., 170.
       [3] Sudarsono, Filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm.  90.
       [4] Ibid.
       [5] Ibid., 91.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar