PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Ibnu Maskawaih seorang yang hidup di masa
penguasa Islam yang sangat menghargai adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan
kesusastraan. Hal ini tentu berpengaruh juga pada pemikirannya. Ia menjadi
seorang filosof besar. Kebesarannya ini didukung juga karena kebiasaannya
membaca di perpustakaan ibnu al-‘Amid.
Ibnu Maskawaih berhasil memberikan sumbangan
pada pemikiran filsafat Islam mengenai berbagai hal. Pada konsep Ketuhanan, ia
mengakui adanya Tuhan. Ia juga berpendapat bahwa segala sesuatu diciptakan dari
tiada.
Dalam makalah ini, penulis memaparkan sedikit
tentang pemikiran ibnu Maskawaih yang tentunya suatu pemikiran akan menuai pro
dan kontra. Semoga mampu menambah cakrawala pengetahuan pembaca tentang filsafat,
khususnya filsafat Islam.
2. Rumusan Masalah
a. Bagaimanakah riwayat hidup serta karya Ibnu Maskawaih?
b. Bagaimanakah pemikiran filsafat Ibnu Maskawaih?
PEMBAHASAN
1. Riwayat Hidup ibnu Maskawaih
Nama lengkap ibnu Maskawaih adalah Abu Ali
al-Khozim Ahmad ibn Muhammad bin Ya’kub bin Maskawaih. Ibnu Maskawaih atau
Maskawaih adalah nama masyhurnya. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang
semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali.
Gelar ini diperoleh dari nama sahabat, Ali, sehingga tidak mengherankan jika
ada sebagian orang yang mengatakan bahwa ibnu Maskawaih adalah penganut aliran
Syi’ah. Sedangkan gelar lainnya adalah al-Khazim, yakni bendaharawan. Gelar ini
disebabkan pada masa kekuasaan Adhud al-Daulah dari bani Buwaih ia memperoleh
kepercayaan sebagai bendahara.
Para penulis berbeda pendapat mengenai tahun
kelahiran Ibnu Maskawaih yang lahir di Ray (sekarang Teheran). Morgoliouth
mengatakan bahwa Maskawaih lahir pada tahun 320 H/ 932 M, sedangkan Abdul Aziz
Izzat berpendapat bahwa Maskawaih lahir pada tahun 325 H. Ibnu Maskawaih wafat
pada tanggal 9 Safar 421 H yang bertepatan dengan tanggal 16 Februari 1032 M.
Ibnu Maskawaih hidup pada masa ‘Adhud
al-Daulah yakni penguasa Islam yang berkuasa pertama kali menggunakan gelar
Syahinzah yang berarti Maharaja, gelar yang dipergunakan raja-raja Persia Kuno.
Prestasinya yang gemilang pada bidang politik, yakni mampu menyatukan kembali
negara-negara kecil yang telah memisahkan diri dari pemerintah pusat menjadi
imperium sebagaimana dialami pada masa Harun al-Rasyid, diikuti pula oleh
prestasinya dalam perkembangan pengetahuan dan kesusastraan, sehingga tidak
heran kalau Maskawaih muncul sebagai seorang filosof, tabib, ilmuwan, dan pujangga.
Namun ada hal yang mengusik hati Maskawaih, yaitu kemerosotan moral yang
melanda masyarakat. Oleh karena itu Maskawih lantas tertarik untuk
menitikberatkan perhatiaannya pada bidang etika Islam.
2. Riwayat Pendidikan ibnu Maskawaih
Tidak diketahui secara jelas riwayat
pendidikan ibnu Maskawaih. Namun dapat diduga bahwa belajarnya sama dengan
kebiasaan anak pada masanya. Ahmad Amin menjelaskan bahwa pendidikan anak pada
masa ‘Abbasiyah diawali dengan belajar membaca, menulis, mempelajari al-Quran,
dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan
membuat syair). Semua mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau. Untuk
keluarga berada, mereka akan mendatangkan guru privat ke rumah untuk memberikan
les privat kepada anak-anaknya. Setelah itu, mereka akan mempelajari ilmu fiqh,
hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India), dan matematika.
Selain itu mereka juga diberi ilmu praktis, seperti musik, bermain catur, dan
furusiah (semacam ilmu kemiliteran).
Maskawaih diduga juga mengalami masa muda yang
seperti itu, namun ada dugaan pula Maskawaih tidah menggunakan jasa guru
privat, karena ia bukan dari kalangan berada. Perkembangan pengetahuannya ini
merupakan buah hasil dari ketekunannya dalam membaca. Pengetahuannya yang
menonjol sebagai hasil dari banyaknya ia membaca buku adalah tentang sejarah,
filsafat, dan sastra. Ia kemudian dikenal sebagai filosof, selain itu juga
dikenal sebagai Bapak Etika Islam karena ialah yang pertama kali
mengemukakan teori tentang etika dan menulis buku tentang etika.
3. Karya-karya ibnu Maskawaih
Berikut ini beberapa kara ibnu Maskawaih:
a. Kitab al-Fauz al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa, dan kenabian
(metafisika).
b. Kitab al-Fauz al-Akbar, tentang etika.
c. Kitab Thabarat al-Nafs, tentang etika.
d. Kitab Tahdzib al-Akhlaq wa Tath-hir al-‘Araq, tentang etika.
e. Kitab Tartib as-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai
pemerintahan Bani ‘Abbas dan Banu Buwaih.
f. Kitab Tajarib al-Umam, tentang sejarah yang berisi
peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H.
g. Kitab al-Jami’, tentang ketabiban.
h. Kitab al-Adwiyah, tentang obat-obatan.
i.
Kitab al-Asyribah, tentang minuman.
j.
Kitab al-Mustaudi, berisi kumpulan
syair-syair pilihan.
k. Kitab Maqalat fi al-Nafsi wa al-‘Aql, tentang jiwa dan akal.
l.
Kitab Jawizan Khard (Akal Budi), yang
membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab,
Persia, India, dan Romawi.
4. Pemikiran Filsafat Maskawaih
a. Hikmah dan Falsafah Menurut ibnu Maskawaih
Maskawaih membedakan antara hikmah dengan
filsafat. Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah)
yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: Bahwa engkau
mengetahui segala yanga ada (al-maujudat) sebagai adanya. Atau jika
engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah: Bahwa engkau mengetahui
perkara-perkara ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan),
dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat)
dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.[1]
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak
memberikan pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua
bagian; bagian teori dan bagian praktis. Bagian teori merupakan kesempurnaan
manusia yang mengisi otensinya untuk dapat mengetahui segala sesuatu hingga
dengan kesempurnaan ilmunya itu pikirannya benar, keyakinannya benar dan tidak
ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan
moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi
dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasonalnya yang
dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga
perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari
kesempurnaan moral adalah sama dapat mengatur hubungan antarsesama manusia
hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.[2]
b. Pemikiran ibn Maskawaih tentang Ilmu Pengetahuan
Maskawaih berpendapat bahwa segala sesuatu
yang wujud ini tumbuh dan berkembang melalui beberapa fase yang keseluruhannya
merupakan mata rantai kehidupan. Bahwa segala pada fase pertama merupakan
sesuatu yang sederhana, kemudian senantiasa berevolusi dan berkembang sehingga
mencapai derajat yang lebih tinggi.[3]
Demikian pula dengan manusia, revolusi manusia tidak hanya masalah fisik, namun
tingkat kecerdasannya pun turut berkembang. Kecerdasan atau cara berpikir ini
bertambah maju hingga menjadi bijaksana atau bahkan sampai derajat malaikat.
Maskawaih menetapkan adanya prinsip kebenaran
Kenabian dan adanya kebenaran wahyu, hanya saja untuk mencapai tingkatan ini,
ada dua jalan:[4]
1. Perenungan tentang hakikat segala sesuatu yang wujud sehingga mempertajam
pandangan, sehingga akhirnya dapat mengenal soal-soal Ketuhanan. Tingkat ini
dapat didapat oleh para filosof.
2. Manusia mungkin sekali tanpa perenungan akal pikiran tetapi dapat karunia
limpahan langsung dari Tuhan berupa kebenaran (wahyu) tanpa melalui latihan
akal pikiran. Tingkatan ini hanya dapat dicapai oleh orang-orang yang terpilih,
yaitu para nabi.
c. Pemikiran Maskawaih tentang Ketuhanan
Menurut Maskawaih, membuktikan adanya Tuhan
adalah mudah, karena kebenarannya tentang ada Tuhan telah terbukti pada dirinya
sendiri dengan amat jelas. Namun kesukarannya adalah karena keterbatasan akal
manusia untuk menjangkaunya. Tetapi orang yang berusaha keras untuk memperoleh
bukti adanya, sabar menghadapi berbagai macam kesukaran, pasti akhrinya akan
sampai juga, dan akan memperoleh bukti yang meyakinkan tentang kebenaran
adanya.[5]
Maskawaih mengatakan bahwa konsep adanya Tuhan
telah dijelaskan sejak dulu. Ia berusaha membuktikan Tuhan yang Esa dengan cara
menidakkan atau negasi. Sebagai contoh, Tuhan itu bukan suatu badan, Tuhan
tidak bergerak, Tuhan tidak menciptakan, dan sebagainya. Tuhan tidak sama
dengan suatu konsepsi apa pun, yang dalam filsafat dikenal dengan istilah “tan
kena kinaya ngapa”.
Selain dengan negasi, ia juga menggunakan
argumen gerak atau perubahan yang terjadi pada alam, yang diambil dari
Aristoteles. Tuhan adalah pencipta segala sesuatu. Menciptakan dari awal segala
sesuatu dari tiada, sebab tidak ada artinya mencipta, jika yang diciptakan
telah wujud sebelumnya. Jadi segala sesuatu itu diciptakan dari tiada.
KESIMPULAN
Pemaparan di atas menunjukkan bahwa ibnu
Maskawaih adalah seorang filosof Islam yang besar. Lebih mengagumkan adalah
kebesarannya dalam filsafat ini tidak ia tempuh melalui pendidikan formal,
melainkan secara otodidak. Namun yang perlu diperhatikan adalah pengaruh
filsafat Yunani sangat besar dalam pikirannya, dan terkesan menomor duakan
ajaran agama. Hal ini terlihat salah satunya ketika konsep Ketuhanan, ia malah
menggunakan konsep gerak dari aristoteles. Sedangkan hasilnya yang sangat
membantu perkembangan dunia adalah tentang teori etika dan buku-buku etikanya,
yang ia hasilkan karena melihat moral masyarakat yang buruk, sehingga
diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap perbaikan moral masyarakat.
Daftar Pustaka
Mustofa, A. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka
Setia. 2007.
Sudarsono. Filsafat Islam. Jakarta:Rineka Cipta.
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar